TUGAS SENI
BUDAYA
Alat-alat musik di indonesia

X mipa 3
Oleh :
1. Citra
aulia stevani
2.
Risma Maharani
saridewi
3.
Sofia Nurkhasanah
4.
Ullya Nazhifatul Ulum
Sma n 1 tengaran
Tahun Ajaran 2018/2019
Kolintang

Di
Indonesia Kolintang dikenal sebagai alat musik perkusi bernada dari kayu yang
berasal dari daerah Minahasa Sulawesi Utara. Kayu yang dipakai untuk membuat
Kolintang adalah kayu lokal yang ringan namun kuat seperti kayu Telur (Alstonia
sp),kayu Wenuang (Octomeles Sumatrana Miq),kayu Cempaka (Elmerrillia
Tsiampaca),kayu Waru (Hibiscus Tiliaceus), dan sejenisnya yang mempunyai
konstruksi serat paralel. Nama kolintang berasal dari suaranya: tong (nada
rendah), ting (nada tinggi) dan tang
(nada biasa). Dalam bahasa daerah, ajakan "Mari kita lakukan TONG TING
TANG" adalah: " Mangemo kumolintang". Ajakan tersebut akhirnya
berubah menjadi kata kolintang.
Sejarah Dan Perkembangan Kolintang
Menurut sejarahnya, alat musik Kolintang sudah ada sejak
zaman dahulu dan digunakan masyarakat untuk upacara ritual adat yang
berhubungan dengan pemujaan roh leluhur. Sejak masuknya
agama Kristen dan Islam di tanah Minahasa, Kolintang tidak lagi difungsikan
sebagai pengiring upacara adat, namun lebih difungsikan sebagai pengiring
tarian, pengiring lagu, atau pertunjukan musik.
Alat
musik Kolintang awalnya hanya terdiri dari beberapa potong kayu yang diletakan
dan disusun berjejer diatas kedua kaki pemainnya. Kemudian dikembangkan
menggunakan alas yang terbuat dari dua batang pisang. Kolintang mulai
menggunakan peti resonator sejak Pangeran Diponegoro berada di Minahasa. Konon
pada saat itu peralatan Gamelan juga dibawa oleh rombongannya. Sesudah perang
dunia ke 2, alat musik Kolintang mulai dikembangkan lagi dari segi nada yang
dihasilkan lebih mengarah ke susunan nada musik universal.
Bentuk Alat Musik Kolintang
Alat
musik Kolintang merupakan jenis alat musik tradisional terbuat dari kayu yang
dipotong sesuai dengan ukuran dan disusun diatas alas kayu yang berfungsi
sebagai resonator. Kayu yang digunakan untuk balok Kolintang biasanya terbuat
dari kayu khusus yang agak ringan tapi cukup padat dan serat kayunya tersusun
sedemikian rupa membentuk garis-garis sejajar. Kayu yang digunakan biasanya
merupakan kayu telur, bandaran, wenang, kakinik dan kayu sejenisnya.
Jenis Alat Musik Kolintang
Pada
saat ini alat musik Kolintang terbagi menjadi beberapa jenis yang berbeda-beda.
Perbedaan tersebut terlihat dari suara yang dihasilkannya. Jenis alat musik
Kolintang terdiri dari 9 jenis, yaitu : loway (bass), cella(cello), karua (tenor 1), karua rua
(tenor 2), uner (alto 1), uner rua (alto 2), katelu (ukulele), ina esa (melodi
1), ina rua (melodi 2) dan ina taweng (melodi 3).
Cara Memainkan Alat Musik Kolintang
Seperti
yang dikatakan sebelumnya, cara memainkan alat musik kolinang adalah dengan
cara dipukul menggunakan stick khusus. Agar suara yang dihasilkan terdengar
bagus maka di unjung stick biasanya diberi bantalan kain, seperti halnya alat
pukul musik Gamelan. Stick yang digunakan tersebut biasanya terdiri dari tiga
stick yang diberi nomor tersendiri.
Stick
nomer satu biasnya digunakan di tangan kiri, sedangkan nomer dua dan tiga
dipegang di tangan kanan. Khusus untuk stick dua dan tiga biasanya dipasang di
sela-sela jari sesuai dengan accord yang dimainkan. Sama halnya dengan alat
musik pada umumnya, alat musik Kolintang mempunyai accord sendiri yang dipukul
secara bersamaan. Namun untuk jenis Kolintang bass dan melodi biasanya
dimainkan tanpa accord, namun disesuaikan dengan nada yang diinginkan sehingga
untuk memaikannya hanya butuh dua stick saja.
Gambus

Tradisiolan Gambus adalah salah satu
jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan
Melayu. Gambus sekilas menyerupai dengan gitar, namun memiliki bentuk yang
mirip dengan buah labu dibagi dua. Alat musik Gambus merupakan salah satu alat
musik petik yang berdawai.
Gambus
adalah alat musik petik seperti mandolin yang berasal dari Timur Tengah. Paling
sedikit gambus dipasangi 3 senar sampai paling banyak 12 senar. Gambus
dimainkan sambil diiringi gendang. Sebuah orkes memakai alat musik utama berupa
gambus dinamakan orkes gambus atau disebut gambus saja. Di TVRI dan RRI, orkes
gambus pernah membawakan acara irama padang pasir. Orkes gambus mengiringi tari
Zapin yang seluruhnya dibawakan pria untuk tari pergaulan. Lagu yang dibawakan
berirama Timur Tengah. Sedangkan tema liriknya adalah keagamaan. Alat musiknya
terdiri dari biola, gendang, tabla dan seruling. Kini, orkes gambus menjadi
milik orang Betawi dan banyak diundang di pesta sunatan dan perkawinan. Lirik lagunya
berbahasa Arab, isinya bisa doa atau shalawat. Perintis orkes gambus adalah
Syech Albar seorang Arab-Indonesia, bapaknya Ahmad Albar, dan yang terkenal
orkes gambus El-Surayya dari kota Medan pimpinan Ahmad Baqi.
Asal Usul
Selain
di Riua, Alat musk Gambus juga dapat ditemui dibeberapa daerah lainnya,
diantaranya seperti Deli Sumatra Utara, Jambi, Kalimantan, Sulawesi, Lombok,
Malaysia, Singapura, dan Brunei.
Alat musik Gambus dipercaya oleh sebagian masyarakat di
Riau sebagai hasil modifikasi atau peniruan alat musik Al’ud yang berasal dari
Arab, namun ada juga yang beranggapan bahwa Gambus adalah alat musik asli dari
daerah Riau.
Anggapan sebagian masyarakat dan para seniman tradisi
yang mengatakan bahwa Gambus Melayu adalah alat musik asli dari daerah Riau,
hal ini didasari dari masih adanya dongeng dongeng di tengah masyarakat Melayu
Riau yang menceritakan tentang awal mula adanya alat musik Gambus Melayu Riau.
Salah
satu dongengnya adalah seperti di bawah ini:
“Tersebutlah
kisah pada zaman dahulu, ada seorang pemuda yang sedang jatuh hati kepada
seorang wanita, namun sang pemuda tidak berani untuk mendekati sang wanita,
dikarenakan status sosial mereka yang jauh berbeda, sang pemudapun hanya bisa
melihat dan mengagumi sang wanita dari kejauhan saja.
Pada suatu ketika, sang pemuda tidak sengaja melihat
wanita idamannya sedang duduk di balai depan rumah panggungnya dengan kaki
tergerai kebawah, sang pemuda mencoba untuk melihat lebih dekat, namun yang
terlihat hanyalah sebatas kaki dan betisnya saja.
Betis dan kaki sang wanita tersebut terus terbayang oleh
sang pemuda, hingga akhirnya terpikir oleh sang pemuda untuk membuat bentuk
yang menyerupai kaki sang wanita tersebut dari sebatang kayu agar bisa dipeluk
dan dibelainya.
Setelah
jadi bentuk kaki itu dipeluk dan dibelainya sambil menyanyikan lagu-lagu
asmara. Lama kelamaan timbullah inspirasi pemuda tadi agar kayu yang menyerupai bentuk kaki tersebut bisa
menghasilkan bunyi, kemudian direntangkannyalah beberapa dawai dari bagian yang
berbentuk kaki sampai kebagian yang berbentuk betis.
Dengan
cara memetik dawai-dawai itu dihasilkanlah nada-nada yang dapat mengiringi
lagu-lagu yang dinyanyikannya. Dari sinilah awal mula adanya alat musik Gambus
Melayu Riau”.
Alat
musik gambus ini pada awalnya dikenal oleh masyarakat Melayu yang berdiam di
wilayah pesisir pantai, bersama dengan masuknya para pedagang dari daerah Timur
Tengah. Masa perdagangan ini dimulai sekitar abad ke 7 hingga abad 15-an.
Selain
berdagang, mereka biasanya berdakwah, memperkenalkan ajaran Islam kepada
masyarakat setempat.
Di
samping berdagang dan berdakwah, para pedagang ini juga membawa peralatan
musik, diantaranya Gambus.
Masuknya
para pedagang dari Timur Tengah khususnya ke daerah Riau, telah meninggalkan
pengaruhnya dalam bidang budaya dan kesenian.
Kesenian
yang berkembang dimasyarakat Melayu Riau diantaranya adalah kesenian gambus dan
tari zapin.
Kesenian
gambus ini pada mulanya banyak berkembang di Pulau Bengkalis, Pulau Penyengat,
dan Siak Sri Indrapura.
Pada mulanya Gambus di dalam masyarakat Melayu Riau hanya
dimainkan secara tunggal dalam mengiringi lagu-lagu yang dinyanyikan sendiri
oleh si pemain Gambus sebagai hiburan di dalam rumah dengan sya’ir-sya’ir yang
bernafaskan Islam, tanpa diiringi oleh
alat musik lainnya.
Alat musik Gambus tidak hanya dimainkan di atas rumah
saja, tetapi juga dimainkan oleh para nelayan di atas perahu sambil memancing,
atau sebagai hiburan dikala sedang menyusuri sungai dengan sya’ir-sya’ir yang
bercerita tentang asmara atau kehidupan keseharian.
Dalam konteks sajian sebagai hiburan pribadi, penyajian
Gambus Melayu lebih banyak bermain secara spontanitas, tanpa dipersiapkan atau
dirancang terlebih dahulu, dan tentu saja sangat tergantung kepada kondisi,
situasi, dan perasaan yang tercipta dari si pemain Gambus.
Penyajian
Gambus di atas rumah, selain berfungsi sebagai sarana hiburan secara individu
atau keluarga, juga berfungsi sebagai sarana pendekatan diri kepada Yang
Mahakuasa.
TALEMPONG

Talempong
adalah sebuah alat musik pukul tradisional khas suku Minangkabau. Bentuknya
hampir sama dengan instrumen bonang dalam perangkat gamelan. Talempong dapat
terbuat dari kuningan, namun ada pula yang terbuat dari kayu dan batu. Saat ini
talempong dari jenis kuningan lebih banyak digunakan.
Talempong
berbentuk lingkaran dengan diameter 15 sampai 17,5 sentimeter, pada bagian
bawahnya berlubang sedangkan pada bagian atasnya terdapat bundaran yang
menonjol berdiameter lima sentimeter sebagai tempat untuk dipukul. Talempong
memiliki nada yang berbeda-beda. Bunyinya dihasilkan dari sepasang kayu yang
dipukulkan pada permukaannya.
Talempong
biasanya digunakan untuk mengiringi tarian pertunjukan atau penyambutan,
seperti Tari Piring yang khas, Tari Pasambahan, dan Tari Gelombang. Talempong
juga digunakan untuk melantunkan musik menyambut tamu istimewa. Talempong ini
memainkanya butuh kejelian dimulai dengan tangga nada do dan diakhiri dengan
si. Talempong biasanya dibawakan dengan iringan akordeon, instrumen musik
sejenis organ yang didorong dan ditarik dengan kedua tangan pemainnya. Selain
akordeon, instrumen seperti saluang, gandang, serunai dan instrumen tradisional
Minang lainnya juga umum dimainkan bersama Talempong.
Di
Negeri Sembilan, Malaysia, Talempong dikenali dengan nama Caklempong. Negeri
Sembilan telah didatangi oleh suku Minangkabau yang bermigrasi dari Sumatera
Barat pada abad ke 15 Masehi dan satu-satunya negara bagian di Malaysia yang
mengamalkan sistem Lareh Bodi Caniago.
TALEMPONG
PACIK

Talempong
pacik, adalah sejenis alat musik berupa gong kecil tunggal dengan benjolan di
tengahnya. Talempong pacik biasanya dimainkan oleh laki-laki, tetapi ada juga
dimainkan oleh perempuan. Suatu upacara dan kegiatan tertentu tanpa kehadiran
talempong pacik dianggap belum lengkap. Dalam upacara perkawinan, penjemputan
mempelai yang tidak diarak dengan talempok pacik akan menimbulkan tanda tanya
bagi masyarakat.
Talempok
pacik juga digunakan sebagai musik pengiring tari, seperti: tari piring, tari
galombang, pencak silat, dan beberapa tari tradisional lainya. Selain itu, juga
digunakan dalam pertunjukan teater rakyat atau teater tradisional yang disebut
dengan randai. Masa Kejayaan pertunjukan talempong pacik adalah pada tahun
1950-an
Talempong
merupakan sebuah istilah yang dikenal masyarakat Minangkabau sebagai alat musik
gong kecil atau musik talempong itu sendiri. Pada setiap daerah di Sumatera
Utara, musik dan alat musik pernah hidup dan berfungsi di tengah-tengah
masyarakat pendukungnya. Talempong ini terbuat dari bahan logam. Umumnya
terbuat dari kuningan, besi, ataupun tembaga, sehingga akan menghasilkan suara
yang mendengung. Dengungan ini kemudian diharmonisasi dengan talempong bernada
berbeda dan juga alat musik lain.
Talempong
duduak dan juga talempong paci merupakan dua genre musik talempong tradisional
yang tumbuh dan berkembang sampai saat ini. Pengistilahan ini bertujuan untuk
membedakan kedua genre alat musik. Meskipun kenyataannya kedua alat musik ini
sering disebut dengan istilah talempong atau calempong oleh masyarakat
pendukungnya. Dalam permainannya juga disebut batalempong atau bacalempong.
Talempong ini dibuat dengan cara dipatri oleh seorang padai besi sampai
terbentuk menyerupai gong dengan bentuk yang kecil.
SALUANG

Saluang
adalah alat musik tradisional khas Minangkabau, Sumatera Barat. Yang mana alat
musik tiup ini terbuat dari bambu tipis atau talang (Schizostachyum
brachycladum Kurz). Orang Minangkabau percaya bahwa bahan yang paling bagus
untuk dibuat saluang berasal dari talang untuk jemuran kain atau talang yang
ditemukan hanyut di sungai[1]. Alat ini termasuk dari golongan alat musik
suling, tetapi lebih sederhana pembuatannya, cukup dengan melubangi talang
dengan empat lubang. Panjang saluang kira-kira 40-60 cm, dengan diameter 3-4
cm. Adapun kegunaan lain dari talang adalah wadah untuk membuat lamang (lemang), salah satu makanan tradisional
Minangkabau. dalam mebuat saluang ini kita harus menentukan bagian atas dan
bawahnya terlebih dahulu untuk menentukan pembuatan lubang, kalau saluang terbuat
dari bambu, bagian atas saluang merupakan bagian bawah ruas bambu. pada bagian
atas saluang diserut untu dibuat meruncing sekitar 45 derajat sesuai ketebalan
bambu. untuk membuat 4 lubang pada alat musik tradisional saluang ini mulai
dari ukuran 2/3 dari panjang bambu, yang diukur dari bagian atas, dan untuk
lubang kedua dan seterusnya berjarak setengah lingkaran bambu. untuk besar
lubang agar menghasilkan suara yang bagus, haruslah bulat dengan garis tengah
0,5 cm.
Pemain
saluang legendaris bernama Idris Sutan Sati dengan penyanyinya Syamsimar.
Keutamaan
para pemain saluang ini adalah dapat memainkan saluang dengan meniup dan
menarik napas bersamaan, sehingga peniup saluang dapat memainkan alat musik itu
dari awal dari akhir lagu tanpa putus. Cara pernapasan ini dikembangkan dengan
latihan yang terus menerus. Teknik ini dinamakan juga sebagai teknik
manyisiahan angok (menyisihkan napas).
Tiap
nagari di Minangkabau mengembangkan cara meniup saluang, sehingga masing-masing
nagari memiliki ciri khas tersendiri. Contoh dari ciri khas itu adalah
Singgalang, Pariaman, Solok Salayo, Koto Tuo, Suayan dan Pauah. Ciri khas
Singgalang dianggap cukup sulit dimainkan oleh pemula, dan biasanya nada
Singgalang ini dimainkan pada awal lagu. Sedangkan, ciri khas yang paling sedih
bunyinya adalah Ratok Solok dari daerah Solok.
Dahulu,
kabarnya pemain saluang ini memiliki mantera tersendiri yang berguna untuk
menghipnotis penontonnya. Mantera itu dinamakan Pitunang Nabi Daud. Isi dari
mantera itu kira-kira : Aku malapehan pituang Nabi Daud, buruang tabang tatagun-tagun,
aia mailia tahanti-hanti, takajuik bidodari di dalam sarugo mandanga bunyi
saluang ambo, kununlah anak sidang manusia dan seterusnya.
TIFA

Tifa
merupakan alat musik khas Indonesia bagian Timur, khususnya Maluku dan Papua.
Alat musik ini bentuknya menyerupai kendang
dan terbuat dari kayu yang di lubangi tengahnya. Ada beberapa macam
jenis alat musik Tifa seperti Tifa Jekir, Tifa Dasar, Tifa Potong, Tifa Jekir
Potong dan Tifa Bas.
Tifa
mirip dengan alat musik gendang yang dimainkan dengan cara dipukul. Alat musik
ini terbuat dari sebatang kayu yang dikosongi atau dihilangi isinya dan pada
salah satu sisi ujungnya ditutupi, dan biasanya penutupnya digunakan kulit rusa
yang telah dikeringkan untuk menghasilkan suara yang bagus dan indah. Bentuknyapun
biasanya dibuat dengan ukiran. Setiap suku di Maluku dan Papua memiliki tifa
dengan ciri khas nya masing-masing.
Tifa
biasanya digunakan untuk mengiringi tarian perang dan beberapa tarian daerah
lainnya seperti tari Lenso dari Maluku yang diiringi juga dengan alat musik
totobuang, tarian tradisional suku Asmat dan tari Gatsi.
Alat
musik tifa dari Maluku memiliki nama lain, seperti tahito atau tihal yang
digunakan di wilayah-wilayah Maluku Tengah. Sedangkan, di pulau Aru, tifa
memiliki nama lain yaitu titir. Jenisnya ada yang berbentuk seperti drum dengan
tongkat seperti yang digunakan di Masjid . Badan kerangkanya terbuat dari kayu
dilapisi rotan sebagai pengikatnya dan bentuknya berbeda-beda berdasarkan
daerah asalnya.
SASANDO

Sasando
adalah sebuah alat musik dawai yang
dimainkan dengan dipetik. Instumen musik ini berasal dari pulau Rote, Nusa
Tenggara Timur. Secara harfiah nama Sasando menurut asal katanya dalam bahasa
Rote, sasandu, yang artinya alat yang bergetar atau berbunyi. Suara sasando ada
miripnya dengan alat musik dawai lainnya seperti gitar, biola, kecapi, dan
harpa.
Bagian
utama sasando berbentuk tabung panjang yang biasa terbuat dari bambu. Lalu pada
bagian tengah, melingkar dari atas ke bawah diberi ganjalan-ganjalan di mana
senar-senar (dawai-dawai) yang direntangkan di tabung, dari atas kebawah
bertumpu. Ganjalan-ganjalan ini memberikan nada yang berbeda-beda kepada setiap
petikan senar. Lalu tabung sasando ini ditaruh dalam sebuah wadah yang terbuat
dari semacam anyaman daun lontar yang dibuat seperti kipas. Wadah ini merupakan
tempat resonansi sasando.
Jika
harpa, piano, dan gitar plastis menjadi temuan paling bersejarah dan berarti
dalam dunia musik, maka Sasando dari Pulau Rote layak mendapat penghargaan
lebih. Alat musik tradisional masyarakat Rote ini telah ada sejak puluhan tahun
lalu dan menghasilkan suara kombinasi dari tiga alat music, yaitu harpa, piano,
dan gitar. Sasando bukan sekadar harpa, piano, atau gitar saja, tetapi gabungan
tiga alat musik dalam satu ritme, melodi, dan bass. Jadi meskipun merupakan
alat musik tradisional, universalitas Sasando berlaku menyeluruh.
Alat
musik masyarakat Rote itu tergolong cordophone yang dimainkan dengan cara petik
pada dawai yang terbuat dari kawat halus. Resonator Sasando terbuat dari daun
lontar yang bentuknya mirip wadah penampung air berlekuk-lekuk. Susunan
notasinya bukan beraturan seperti alat musik pada umumnya melainkan memiliki
notasi yang tidak beraturan dan tidak terlihat karena terbungkus resonator.
Sasando
dimainkan dengan dua tangan dari arah berlawanan, kiri ke kanan dan kanan ke
kiri. Tangan kiri berfungsi memainkan melodi dan bas, sementara tangan kanan
bertugas memainkan accord. Sasando di tangan pemain ahlinya dapat menjadi
harmoni yang unik. Sebab hanya dari satu alat musik, sebuah orkestra dapat
diperdengarkan. Sayang, Sasando ibarat masterpiece maestro yang terpendam dan
nyaris punah. Alat musik luar biasa itu terancam tinggal cerita manakala di
tempat asalnya sendiri telah menjadi sesuatu yang asing. Sasando memang
menyimpan banyak kisah haru. Alat musik ciptaan dua pendeta asal Pulau Rote itu
kini hanya dapat dipetik oleh delapan orang yang menjadi generasi terakhirnya.
Jacko
H.A. Bullan boleh jadi merupakan salah satu generasi terakhir pewaris Sasando
Rote. Anak pertama dari dua bersaudara itu tergugah untuk sadar dan bertahan
memperpanjang umur Sasando agar dapat terus mengalun di telinga generasi
mendatang. Menurutnya, orang yang bisa memainkan Sasando saat ini tinggal
delapan orang termasuk dirinya. Dari jumlah itu, tiga orang di antaranya telah
berusia di atas 30 tahun dan di NTT sendiri saat ini sudah tak ada satu pun
yang bisa memainkan Sasando.
Fakta
pahit yang ada di lapangan menyatakan bahwa orang tua-orang tua yang demikian
bangga memainkan Sasando dalam berbagai upacara adat, lengkap dengan topi
tilangga, pakaian, dan tarian adat, sebagian besar telah meninggal dunia.
Mereka tidak meninggalkan warisan berupa buku atau sekolah yang bisa memandu
generasi muda menjadi penerusnya.
Di
ibu kota, Jack membuka rumahnya bagi siapa pun yang ingin belajar Sasando.
Namun, ia kembali dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa sebagian besar murid
yang datang adalah justru warga negara asing. Jack mengatakan bahwa hampir 90
persen orang asing dari mulai Jepang hingga Australia yang menjadi muridnya. Ia
menyayangkan bila suatu saat kelak bangsa Indonesia terpaksa harus belajar ke
luar negeri untuk sekadar memetik Sasando.
Sementara
itu, Direktur Promosi Luar Negeri, I Gde Pitana, mengatakan, Sasando merupakan
salah satu hasil karya maestro seni tradisi yang potensial untuk dijual di dunia internasional. "Semua orang yang mendengarkan musik Sasando hampir
pasti tertarik," katanya. Oleh karena itu, pihaknya kerap mengundang pemain
Sasando untuk turut berpartisipasi dalam ajang consumer sellinga ke
beberapa target pasar utama pariwisata Indonesia. Ini juga bagian untuk
melestarikan Sasando dari ancaman kepunahan, katanya. Dengan demikian Jacko
H.A. Bullan tidak akan pernah menjadi generasi terakhir yang memetik
dawai-dawai Sasando.
SAMPEK

Sampe
merupakan alat musik tradisional Suku Dayak.Penyebutan alat musik yang
dimainkan dengan cara dipetik ini berbeda-beda dalam tradisi masing-masing Sub
suku dayak yang ada di Kalimantan Timur.
Orang-orang suku Dayak yang sebagian besar menetap di
wilayah Kalimantan, Indonesia dan
Malaysia Timur telah melalui periodesasi zaman yang sangat lama. Oleh karena
itu, kaum Melayu Tua ini tentunya memiliki peradaban dan kebudayaan beserta
semua perangkat adat dan tradisinya.Salah satu wujud hasil budaya orang Dayak
adalah alat musik tradisional yang memiliki ciri dan kegunaan yang khas.Dalam
kehidupan sehari-hari orang Dayak, seni musik dan alat-alat musiknya menjadi
salah satu media yang diperlukan dalam pelaksanaan upacara-upacara adat, selain
tentu saja juga berfungsi sebagai sarana hiburan.Terdapat berbagai jenis alat
musik dalam tradisi kebudayaan orang Dayak, termasuk alat musik pukul, tiup,
maupun petik. Salah satu alat musik petik yang cukup poluler di kalangan suku
Dayak, terutama orang-orang suku Dayak yang hidup di Kalimantan Timur, adalah
sampe.Sampe dalam bahasa lokal suku Dayak dapat diartikan “memetik dengan
jari".Dari makna namanya itu diketahui dengan jelas bahwa sampe adalah
perangkat musik yang dimainkan dengan cara dipetik. Namun, penamaan alat musik
Melayu Dayak ini ternyata berbeda-beda di tiap-tiap sub etnis suku Dayak yang
ada di Kalimantan timur.Nama sampe’ digunakan oleh orang-orang suku Dayak
Kenyah, orang-orang suku Dayak Bahau dan Kanyaan menyebutnya dengan nama sape’,
suku Dayak Modang mengenal alat musik ini sebagai sempe, sedangkan orang-orang
Dayak Tunjung dan Banua menamainya dengan sebutan kecapai’ .
Kendati sama-sama berjenis alat musik petik, namun sampe
agak berbeda dengan gitar dalam cara
memainkannya.Dalam memainkan gitar harus menggunakan satu tangan saja untuk
memetik senar, sedangkan tangan lainnya difungsikan untuk mengatur nada pada
dawai yang terdapat pada gagang gitar. Lain halnya
dengan sampe di mana alat musik ini dapat dimainkan justru dengan jari-jari
dari kedua belah tangan. Bedanya lagi, apabila gitar pada umumnya memiliki 6
senar, pada sampe biasanya hanya terdapat 3 senar meskipun ada juga sampe yang
bersenar 4 dan seterusnya. Dulu, dawai sampe menggunakan tali dari serat pohon
enau, namun kini sudah memakai kawat kecil sebagai dawainya.Pada bagian kepala
sampe (ujung gagang), dipasang hiasan ukiran yang menggambarkan taring-taring
dan kepala burung enggang.
Sampe adalah alat musik yang berfungsi untuk menyatakan
perasaan, baik perasaan riang gembira, rasa sayang, kerinduan, bahkan rasa duka
nestapa. Dahulu, memainkan sampe pada siang hari dan malam hari memiliki
perbedaan.Apabila dimainkan pada siang hari, umumnya irama yang dihasilkan
sampe menyatakan perasaan gembira dan suka-ria. Sedangkan jika sampe dimainkan
pada malam hari biasanya akan menghasilkan irama yang bernada sendu, syahdu,
atau sedih.Terdapat ungkapan mengenai sampe yang termuat dalam Tekuak Lawe,
sastra lisan yang diturunkan dari generasi ke generasi dalam tradisi masyarakat
Dayak, khususnya suku Dayak Kanyaan dan Kenyah. Ungkapan yang berbunyi sape'
benutah tulaang to'awah itu secara harfiah dapat diartikan Sampe mampu
meremukkan tulang-belulang hantu yang bergentayangan.Ungkapan tersebut
menggambarkan bahwa alat musik sampe mampu membuat orang yang mendengarnya
merinding hingga menyentuh tulang atau perasaan. Bagi para tetua adat Dayak di
zaman dulu, keyakinan akan kesakralan sampe memang betul bisa dirasakan karena
suasana pedesaan dan nuansa adat pada saat itu masih sangat kental.
Hingga kini, kepercayaan akan tuah sampe masih diyakini
oleh para sesepuh Dayak, misalnya ketika sampe dimainkan dalam suatu upacara
adat.Saat bunyi petikan sampe terdengar, seluruh orang akan terdiam, kemudian
terdengar sayup-sayup lantunan doa atau mantra yang dibacakan bersama-sama.4]
Saat bunyi petikan sampe terdengar, seluruh orang akan terdiam, kemudian
terdengar sayup-sayup lantunan doa atau mantra yang dibacakan bersama-sama.Dalam
suasana seperti ini, tidak jarang di antara mereka ada yang kerasukan roh halus
atau roh leluhur. Sampe juga dimainkan pada saat acara pesta rakyat atau acara
gawai padai, sampe dimainkan untuk mengiringi tari-tarian yang lemah gemulai.
Seiring
dengan perkembangan zaman, sampe kemudian tidak hanya berfungsi sebagai alat
musik untuk menyatakan perasaan saja, namun sampe juga mulai sering dimainkan
bersama dengan alat-alat musik lainnya. Anak-anak muda Dayak gemar memainkan
sampe sembari berkumpul bersama di malam hari. Selain itu, sampe dimainkan oleh
kaum Lelaki Dayak untuk menarik perhatian perempuan yang sedang ditaksirnya .
Sampe juga berfungsi sebagai alat musik hiburan dalam suatu keluarga besar.
Tradisi orang Dayak yang tinggal di rumah betang membuat sampe menjadi sarana yang termudah
untuk meramaikan suasana atau untuk menghibur ketika ada salah seorang anggota
yang sedang bersedih.Di rumah betang, tersedia sebuah ruangan besar untuk acara
adat atau sebagai ruang keluarga.Di ruang besar inilah, para pemuda Dayak
saling unjuk kemahiran dalam memainkan sampe Tidak hanya itu, sampe juga sering
dimainkan sebagai wujud rasa syukur atas peristiwa atau moment tertentu,
misalnya ketika hasil panen melimpah.
Alat musik petik sampe dibuat dari bahan kayu pilihan.
Kayu yang dinilai mempunyai kualitas baik sebagai bahan pembuat sampe adalah
jenis-jenis kayu sebangsa kayu meranti, misalnya kayu pelantan, kayu adau, kayu
marang, kayu tabalok, dan sejenisnya.Jenis kayu-kayu itu dipilih karena kuat,
tidak mudah pecah, keras, tahan lama, dan tidak mudah dirusak atau dimakan
binatang seperti rayap. Semakin keras dan banyak urat daging kayunya, maka
suara yang dihasilkan sampe akan semaki baik pula.Untuk dawai atau senar sampe,
pada awalnya masih menggunakan tali yang berasal dari serat pohon enau atau
aren, namun sekarang senar sampe sering dibuat dari bahan kawat tipis sehingga
bunyinya akan terdengar lebih nyaring .
Tahap-tahap pembuatan sampe adalah, pertama, batang pohon
diratakan dengan menggunakan kapak lalu dijemur sampai kering. Setelah kayu
benar-benar kering, balok kayu tersebut dilubangi secara memanjang, namun tidak
sampai tembus ke permukaan. Jika proses melubangi kayu sudah selesai, lalu
diukir lagi sesuai dengan bentuk yang diinginkan. Kemudian dibuat bahu atau
gagang sampe kira-kira sebesar kepalan tangan. Di bagian ujungnya, dibuat
lubang sebagai tempat pemutarnya sesuai dengan jumlah senar.Di setiap lubang
putaran tersebut ditusuk dengan ujung pisau untuk membuat tempat memasukkan
senar agar dapat dililitkan pada putarannya.
Sampai di sini tahap pembuatan sampe sebenarnya telah
selesai, namun biasanya dilanjutkan dengan menambahkan ukiran dengan ornamen
khas Dayak, yakni dengan corak burung enggang dan taring-taring hewan buruan
yang merupakan lambang keagungan dan kebesaran orang-orang Dayak.Tahap
selanjutnya adalah memasang senar di mana sebagai alat untuk menyeleraskan nada
menggunakan belahan rotan yang dipotong-potong. Belahan rotan
ini direkatkan dengan kelulut, sesuai dengan nada yang diinginkan .Bentuk sampe
pada umumnya menyerupai perahu dan mempunyai bagian-bagian tertentu. Dalam
bahasa suku Dayak Kenyah, penyebutan bagian-bagian sampe yakni: usa, mulam,
batak, hudog sampe, uta, batuk, ndon, Iowong sampe, dan seterusnya .
Cara memainkan alat musik sampe adalah mula-mula
senar-senar sampe diselaraskan dengan perasaan pemetik nya.Hal ini dilakukan
karena sampe adalah alat musik yang berfungsi untuk menyatakan perasaan
seseorang.Oleh karena itu, hasil stem
senar-senar sampe tersebut berbeda-beda untuk setiap orang. Bunyi senar
yang dihasilkan itu masih merupakan nada-nada dasar.Untuk menyelaraskan
nada-nada lainnya dilakukan dengan memindah-mindahkan ndon. Dengan
cara ini, sampe pun bisa dimainkan sesuai dengan nada lagu yang diinginkan.
Namun, jika ganti memainkan lagu lain, maka ndon sampe juga harus diubah atau diselaraskan
lagi diinginkan. Cara memetik sampe adalah dengan jari-jari kedua tangan, baik
tangan kiri maupun tangan kanan. Petikan ini akan menghasilkan bunyi accord .Pemetik
sampe memainkan lagu hanya dengan berdasarkan perasaan sehingga bunyi yang
dihasilkan pun akan mengena sesuai dengan perasaan si pemetik.
TANJIDOR

Tanjidor
(kadang hanya disebut tanji) adalah sebuah kesenian Betawi yang berbentuk
orkes. Kesenian ini sudah dimulai sejak abad ke-19 atas rintisan Augustijn
Michiels atau lebih dikenal dengan nama Mayor Jantje di daerah Citrap atau
Citeureup. Alat-alat musik yang digunakan biasanya sama seperti drumben.
Kesenian Tanjidor juga terdapat di Kalimantan Barat, sementara di Kalimantan
Selatan sudah punah.
Kata
Tanjidor berasal dari nama kelompok sisa-sisa musik Tangsi (asrama militer Jepang)
yang dimainkan masyarakat Betawi yang
bekerja bukan sebagai pemain musik, melainkan bermain musik untuk kepuasan
batin dan kesenangan saja serta kegemaran masyarakat.
Kesenian
Tanjidor umumnya dipakai dalam musik jalanan tradisional, atau pesta cap gomeh
di kalangan Cina Betawi. Musik ini merupakan sisa dari musik baris dan musik
tiup zaman Belanda di Indonesia. Juga biasanya kesenian ini digunakan untuk
mengantar pengantin atau dalam acara pawai daerah. Tapi pada umumnya kesenian
ini diadakan di suatu tempat yang akan dihadiri oleh masyarakat Betawi secara
luas layaknya sebuah orkes.
Daftar
instrumen dalam orkes tanjidor :
1. Cabasa
2. Simbal
3. Maracas
4. Quarto
5. Drum
bass
6. Snare
drum
7. Xylophone
8. Marimba
9. Vibraphone
10. Sousaphone
11. Mellophone
12. Baritone
13. Tuba
14. Trompet
15. Eufonium
GAMBANG
KROMONG

Gambang
kromong (atau ditulis gambang keromong) adalah sejenis orkes yang memadukan
gamelan dengan alat-alat musik Tionghoa,
seperti sukong, tehyan, dan kongahyan. Sebutan gambang kromong diambil dari
nama dua buah alat perkusi, yaitu gambang dan kromong. Awal mula terbentuknya
orkes gambang kromong tidak lepas dari seorang pemimpin komunitas Tionghoa yang
diangkat Belanda (kapitan Cina) bernama Nie Hoe Kong (masa jabatan 1736-1740).
Gambang
kromong (atau ditulis gambang keromong) adalah sejenis orkes yang memadukan
gamelan dengan alat-alat musik Tionghoa,
seperti sukong, tehyan, dan kongahyan. Sebutan gambang kromong diambil dari
nama dua buah alat perkusi, yaitu gambang dan kromong. Awal mula terbentuknya
orkes gambang kromong tidak lepas dari seorang pemimpin komunitas Tionghoa yang
diangkat Belanda (kapitan Cina) bernama Nie Hoe Kong (masa jabatan 1736-1740).
Musik
dari Indonesia
Gong
dari Jawa
Ragam
Klasik
• Kecak • Kecapi suling • Tembang Sunda • Pop • Dangdut • Hip hop • Keroncong •
Gambang keromong • Gambus • Jaipongan • Langgam Jawa • Pop Batak • Pop Minang •
Pop Sunda • Tarling • Musik tegalan • Qasidah modern • Rock • Tapanuli ogong •
Tembang Jawa
Bentuk
tertentu
Angklung
• Beleganjur • Calung • Campursari • Gamelan • Degung • Gambang • Gong gede •
Gong kebyar • Jegog • Joged bumbung • Salendro • Selunding • Semar pegulingan
Musik
daerah
Bali
• Kalimantan • Jawa • Kepulauan Maluku • Papua • Sulawesi • Sumatera • Sunda
Suling
merupakan salah satu instrumen yang terdapat di dalam orkes musik gambang
kromong.
Bilahan
gambang yang berjumlah 18 buah, biasa terbuat dari kayu suangking, huru batu,
manggarawan atau kayu jenis lain yang empuk bunyinya bila dipukul. Kromong biasanya dibuat dari perunggu atau besi,
berjumlah 10 buah (sepuluh pencon). Tangga nada yang digunakan dalam gambang
kromong adalah tangga nada pentatonik
Cina[1], yang sering disebut salendro Cina atau salendro mandalungan.
Instrumen pada gambang kromong terdiri atas gambang, kromong, gong, gendang,
suling, kecrek, dan sukong, tehyan, atau kongahyan sebagai pembawa melodi.
Orkes
gambang kromong merupakan perpaduan yang serasi antara unsur-unsur pribumi
dengan unsur Tionghoa. Secara fisik unsur Tionghoa tampak pada alat-alat musik
gesek yaitu sukong, tehyan, dan kongahyan. Perpaduan kedua unsur kebudayaan
tersebut tampak pula pada perbendaharaan lagu-lagunya. Di samping lagu-lagu
yang menunjukkan sifat pribumi, seperti lagu-lagu Dalem (Klasik) berjudul:
Centeh Manis Berdiri, Mas Nona, Gula Ganting, Semar Gunem, Gula Ganting,
Tanjung Burung, Kula Nun Salah, dan Mawar Tumpah dan sebagainya, dan lagu-lagu
Sayur (Pop) berjudul: Jali-jali, Stambul, Centeh Manis, Surilang, Persi,
Balo-balo, Akang Haji, Renggong Buyut, Jepret Payung, Kramat Karem, Onde-onde,
Gelatik Ngunguk, Lenggang Kangkung, Sirih Kuning dan sebagainya, terdapat pula
lagu-lagu yang jelas bercorak Tionghoa, baik nama lagu, alur melodi maupun liriknya, seperti Kong Ji Liok, Sip
Pat Mo, Poa Si Li Tan, Peh Pan Tau, Cit No Sha, Ma Cun Tay, Cu Te Pan, Cay Cu
Teng, Cay Cu Siu, Lo Fuk Cen, dan sebagainya.
Lagu-lagu
yang dibawakan pada musik gambang
kromong adalah lagu-lagu yang isinya bersifat humor, penuh gembira, dan
kadangkala bersifat ejekan atau sindiran. Pembawaan lagunya dinyanyikan secara
bergilir antara laki-laki dan perempuan
sebagai lawannya.
Gambang kromong merupakan musik Betawi yang paling merata penyebarannya di wilayah
budaya Betawi, baik di wilayah DKI Jakarta
sendiri maupun di daerah sekitarnya (Jabotabek). Jika
terdapat lebih banyak penduduk peranakan Tionghoa dalam masyarakat Betawi
setempat, terdapat lebih banyak pula grup-grup orkes gambang kromong. Di
Jakarta Utara dan Jakarta Barat, misalnya, terdapat lebih banyak jumlah grup
gambang kromong dibandingkan dengan di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur.
Dewasa
ini juga terdapat istilah "gambang kromong kombinasi". Gambang
kromong kombinasi adalah orkes gambang kromong yang alat-alatnya ditambah atau
dikombinasikan dengan alat-alat musik Barat modern seperti gitar melodis, bas,
gitar, organ, saksofon, drum dan sebagainya, yang mengakibatkan terjadinya
perubahan dari laras pentatonik menjadi diatonik tanpa terasa mengganggu. Hal
tersebut tidak mengurangi kekhasan suara gambang kromong sendiri, dan lagu-lagu
yang dimainkan berlangsung secara wajar dan tidak dipaksakan.
ANGKLUNG

Angklung
adalah alat musik multitonal (bernada ganda) yang secara tradisional berkembang
dalam masyarakat Sunda di Pulau Jawa bagian barat. Alat musik ini dibuat dari
bambu, dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan
pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3,
sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Dictionary of the
Sunda Language karya Jonathan Rigg, yang diterbitkan pada tahun 1862 di Batavia,
menuliskan bahwa angklung adalah alat musik yang terbuat dari pipa-pipa bambu,
yang dipotong ujung-ujungnya, menyerupai pipa-pipa dalam suatu organ, dan
diikat bersama dalam suatu bingkai, digetarkan untuk menghasilkan bunyi.
Angklung terdaftar sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi
Manusia dari UNESCO sejak November 2010.
Anak-anak
Jawa Barat bermain angklung di awal abad ke-20.
Tidak
ada petunjuk sejak kapan angklung digunakan, tetapi diduga bentuk primitifnya
telah digunakan dalam kultur Neolitikum yang berkembang di Nusantara sampai
awal penanggalan modern, sehingga angklung merupakan bagian dari relik
pra-Hinduisme dalam kebudayaan Nusantara.
Catatan
mengenai angklung baru muncul merujuk pada masa Kerajaan Sunda (abad ke-12
sampai abad ke-16). Asal usul terciptanya musik bambu, seperti angklung
berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber
kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos
kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi
kehidupan (hirup-hurip). Masyarakat Baduy, yang dianggap sebagai sisa-sisa
masyarakat Sunda asli, menerapkan angklung sebagai bagian dari ritual mengawali
penanaman padi. Permainan angklung gubrag di Jasinga, Bogor, adalah salah satu
yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau. Kemunculannya berawal dari
ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke
bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur.
Jenis
bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah bambu hitam (awi
wulung) dan bambu ater (awi temen), yang jika mengering berwarna kuning
keputihan. Tiap nada (laras) dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang
berbentuk bilah (wilahan) setiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.
Dikenal
oleh masyarakat Sunda sejak masa kerajaan Sunda, di antaranya sebagai penggugah
semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa semangat rakyat
masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia
Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan itu sempat
membuat popularitas angklung menurun dan hanya dimainkan oleh anak- anak pada
waktu itu.
Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri
tersebut disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang
bambu yang dikemas sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu
yang kita kenal sekarang bernama angklung. Demikian pula
pada saat pesta panen dan seren taun dipersembahkan permainan angklung.
Terutama pada penyajian Angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian
ini menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan
di sebagian tempat menjadi iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana
(usungan pangan) dan sebagainya.
Dalam
perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu ke
Kalimantan dan Sumatera. Pada 1908
tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara lain
ditandai penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat
menyebar di sana.
Bahkan, sejak 1966, Udjo Ngalagena —tokoh angklung yang
mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog, salendro, dan
madenda— mulai mengajarkan bagaimana bermain angklung kepada banyak orang dari
berbagai komunitas.
Jenis-jenis Angklung
1. Angklung
Kanekes
Angklung
di daerah Kanekes (kita sering menyebut mereka orang Baduy) digunakan terutama
karena hubungannya dengan ritus padi, bukan semata-mata untuk hiburan
orang-orang. Angklung digunakan atau dibunyikan ketika mereka menanam padi di
huma (ladang). Menabuh angklung ketika menanam padi ada yang hanya dibunyikan
bebas (dikurulungkeun), terutama di Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero), dan ada yang
dengan ritmis tertentu, yaitu di Kaluaran (Baduy Luar). Meski demikian, masih
bisa ditampilkan di luar ritus padi tetapi tetap mempunyai aturan, misalnya
hanya boleh ditabuh hingga masa ngubaran pare (mengobati padi), sekitar tiga
bulan dari sejak ditanamnya padi. Setelah itu, selama enam bulan berikutnya
semua kesenian tidak boleh dimainkan, dan boleh dimainkan lagi pada musim
menanam padi berikutnya. Menutup angklung dilaksanakan dengan acara yang
disebut musungkeun angklung, yaitu nitipkeun (menitipkan, menyimpan) angklung
setelah dipakai.
Dalam
sajian hiburan, Angklung biasanya diadakan saat terang bulan dan tidak hujan.
Mereka memainkan angklung di buruan
(halaman luas di pedesaan) sambil menyanyikan bermacam-macam lagu,
antara lain: Lutung Kasarung, Yandu Bibi, Yandu Sala, Ceuk Arileu, Oray-orayan,
Dengdang, Yari Gandang, Oyong-oyong Bangkong, Badan Kula, Kokoloyoran,
Ayun-ayunan, Pileuleuyan, Gandrung Manggu, Rujak Gadung, Mulung Muncang, Giler,
Ngaranggeong, Aceukna, Marengo, Salak Sadapur, Rangda Ngendong, Celementre,
Keupat Reundang, Papacangan, dan Culadi Dengdang. Para penabuh angklung
sebanyak delapan orang dan tiga penabuh bedug ukuran kecil membuat posisi
berdiri sambil berjalan dalam formasi lingkaran. Sementara itu yang lainnya ada
yang ngalage (menari) dengan gerakan tertentu yang telah baku tetapi sederhana.
Semuanya dilakukan hanya oleh laki-laki. Hal ini berbeda dengan masyarakat
Daduy Dalam, mereka dibatasi oleh adat dengan berbagai aturan pamali
(pantangan; tabu), tidak boleh melakukan hal-hal kesenangan duniawi yang
berlebihan. Kesenian semata-mata dilakukan untuk keperluan ritual.
Nama-nama
angklung di Kanekes dari yang terbesar adalah: indung, ringkung, dongdong,
gunjing, engklok, indung leutik, torolok, dan roel. Roel yang terdiri dari 2
buah angklung dipegang oleh seorang. Nama-nama bedug dari yang terpanjang adalah:
bedug, talingtit, dan ketuk. Penggunaan instrumen bedug terdapat perbedaan,
yaitu di kampung-kampung Kaluaran mereka memakai bedug sebanyak 3 buah. Di
Kajeroan; kampung Cikeusik, hanya menggunakan bedug dan talingtit, tanpa ketuk.
Di Kajeroan, kampung Cibeo, hanya menggunakan bedug, tanpa talingtit dan ketuk.
Di
Kanekes yang berhak membuat angklung adalah orang Kajeroan (Tangtu; Baduy
Jero). Kajeroan terdiri dari 3 kampung, yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik.
Di ketiga kampung ini tidak semua orang bisa membuatnya, hanya yang punya
keturunan dan berhak saja yang mengerjakannya di samping adanya syarat-syarat
ritual. Pembuat angklung di Cikeusik yang terkenal adalah Ayah Amir (59), dan
di Cikartawana Ayah Tarnah. Orang Kaluaran membeli dari orang Kajeroan di tiga
kampung tersebut.
2. Angklung
Reyog
Angklung
Reyog merupakan alat musik untuk mengiringi Tarian Reyog Ponorogo di Jawa
Timur. angklung Reyog memiliki khas dari segi suara yang sangat keras, memiliki
dua nada serta bentuk yang lengkungan rotan yang menarik (tidak seperti
angklung umumnya yang berbentuk kubus) dengan hiasan benang berumbai-rumbai
warna yang indah. di kisahkan angklung merupakan sebuah senjata dari kerajaan
bantarangin ketika melawan kerajaan lodaya pada abad ke 9, ketika kemenangan
oleh kerajaan bantarangin para prajurit gembira tak terkecuali pemegang
angklung, karena kekuatan yang luar biasa penguat dari tali tersebut lenggang
hingga menghasilkan suara yang khas yaitu klong- klok dan klung-kluk bila
didengar akan merasakan getaran spiritual.
Dalam
sejarahnya angklung Reyog ini digunakan pada film: Warok Singo Kobra (1982),
Tendangan Dari Langit (2011)
Dan
penggunaan angklung Reyog pada musik seperti: tahu opo tempe, sumpah palapa,
kuto reog, Resik Endah Omber Girang, dan campursari berbau ponorogoan.
3. Angklung
Banyuwangi
Angklung
banyuwangi ini memiliki bentuk seperi calung dengan nada budaya banyuwangi
4. Angklung
Bali
angklung
bali memiliki bentuk dan nada yang khas bali,
5. Angklung
Dogdog Lojor
6. Angklung
Gubrag
Angklung
gubrag terdapat di kampung Cipining, kecamatan Cigudeg, Bogor. Angklung ini
telah berusia tua dan digunakan untuk menghormati dewi padi dalam kegiatan
melak pare (menanam padi), ngunjal pare (mengangkut padi), dan ngadiukeun
(menempatkan) ke leuit (lumbung).
Dalam
mitosnya angklung gubrag mulai ada ketika suatu masa kampung Cipining mengalami
musim paceklik.
7. Angklung
Badeng
Badeng
merupakan jenis kesenian yang menekankan segi musikal dengan angklung sebagai
alat musiknya yang utama. Badeng terdapat di Desa Sanding, Kecamatan
Malangbong, Garut. Dulu berfungsi sebagai hiburan untuk kepentingan dakwah
Islam. Tetapi diduga badeng telah digunakan masyarakat sejak lama dari masa
sebelum Islam untuk acara-acara yang berhubungan dengan ritual penanaman padi.
Sebagai seni untuk dakwah badeng dipercaya berkembang sejak Islam menyebar di
daerah ini sekitar abad ke-16 atau 17. Pada masa itu penduduk Sanding, Arpaen
dan Nursaen, belajar agama Islam ke kerajaan Demak. Setelah pulang dari Demak
mereka berdakwah menyebarkan agama Islam. Salah satu sarana penyebaran Islam
yang digunakannya adalah dengan kesenian badeng.
Angklung yang digunakan sebanyak sembilan buah, yaitu 2
angklung roel, 1 angklung kecer, 4 angklung indung dan angklung bapa, 2
angklung anak; 2 buah dogdog, 2 buah terbang atau gembyung, serta 1 kecrek. Teksnya
menggunakan bahasa Sunda yang bercampur dengan bahasa Arab. Dalam
perkembangannya sekarang digunakan pula bahasa Indonesia. Isi teks memuat
nilai-nilai Islami dan nasihat-nasihat baik, serta menurut keperluan acara.
Dalam pertunjukannya selain menyajikan lagu-lagu, disajikan pula atraksi
kesaktian, seperti mengiris tubuh dengan senjata tajam.
Lagu-lagu
badeng: Lailahaileloh, Ya’ti, Kasreng, Yautike, Lilimbungan, Solaloh
8. Buncis
Buncis
merupakan seni pertunjukan yang bersifat hiburan, di antaranya terdapat di
Baros (Arjasari, Bandung). Pada mulanya buncis digunakan pada acara-acara
pertanian yang berhubungan dengan padi. Tetapi pada masa sekarang buncis
digunakan sebagai seni hiburan. Hal ini berhubungan dengan semakin berubahnya
pandangan masyarakat yang mulai kurang mengindahkan hal-hal berbau kepercayaan
lama. Tahun 1940-an dapat dianggap sebagai berakhirnya fungsi ritual buncis
dalam penghormatan padi, karena sejak itu buncis berubah menjadi pertunjukan
hiburan. Sejalan dengan itu tempat-tempat penyimpanan padi pun (leuit; lumbung)
mulai menghilang dari rumah-rumah penduduk, diganti dengan tempat-tempat karung
yang lebih praktis, dan mudah dibawa ke mana-mana. Padi pun sekarang banyak
yang langsung dijual, tidak disimpan di lumbung. Dengan demikian kesenian
buncis yang tadinya digunakan untuk acara-acara ngunjal (membawa padi) tidak
diperlukan lagi.
Nama
kesenian buncis berkaitan dengan sebuah teks lagu yang terkenal di kalangan
rakyat, yaitu cis kacang buncis nyengcle..., dst. Teks tersebut terdapat dalam
kesenian buncis, sehingga kesenian ini dinamakan buncis.
Instrumen
yang digunakan dalam kesenian buncis adalah 2 angklung indung, 2 angklung
ambrug, angklung panempas, 2 angklung pancer, 1 angklung enclok. Kemudian 3
buah dogdog, terdiri dari 1 talingtit, panembal, dan badublag. Dalam
perkembangannya kemudian ditambah dengan tarompet, kecrek, dan goong. Angklung
buncis berlaras salendro dengan lagu vokal bisa berlaras madenda atau degung.
Lagu-lagu buncis di antaranya: Badud, Buncis, Renggong, Senggot, Jalantir,
Jangjalik, Ela-ela, Mega Beureum. Sekarang lagu-lagu buncis telah menggunakan
pula lagu-lagu dari gamelan, dengan penyanyi yang tadinya laki-laki pemain
angklung, kini oleh wanita khusus untuk menyanyi.
Dari beberapa jenis musik bambu di Jawa Barat (Angklung)
di atas, adalah beberapa contoh saja tentang seni pertunjukan angklung, yang
terdiri atas: Angklung Buncis (Priangan/Bandung), Angklung Badud (Priangan
Timur/Ciamis), Angklung Bungko (Indramayu), Angklung Gubrag (Bogor), Angklung
Ciusul (Banten), Angklung Dog dog Lojor (Sukabumi), Angklung Badeng
(Malangbong, Garut), dan Angklung Padaeng yang identik dengan Angklung Nasional
dengan tangga nada diatonis, yang dikembangkan sejak tahun 1938. Angklung
khas Indonesia ini berasal dari pengembangan angklung Sunda. Angklung Sunda
yang bernada lima (salendro atau pelog) oleh Daeng Sutigna alias Si Etjle
(1908—1984) diubah nadanya menjadi tangga nada
Barat (solmisasi) sehingga dapat memainkan berbagai lagu lainnya. Hasil
pengembangannya kemudian diajarkan ke siswa-siswa sekolah dan dimainkan secara
orkestra besar.
GAMELAN
DEGUNG

Degung
adalah sekumpulan alat musik yang dimainkan oleh masyarakat Sunda.
Ada
beberapa gamelan yang pernah ada dan terus berkembang di Jawa Barat, antara
lain Gamelan Salendro, Pelog dan Degung. Gamelan salendro biasa digunakan untuk
mengiringi pertunjukan wayang, tari, kliningan, jaipongan dan lain-lain.
Gamelan pelog fungsinya hampir sama dengan gamelan salendro, hanya kurang
begitu berkembang dan kurang akrab di masyaraka dan jarang dimiliki oleh
grup-grup kesenian di masyarakat. Hal ini menandakan cukup terwakilinya
seperangkat gamelan dengan keberadaan gamelan salendro, sementara gamelan
degung dirasakan cukup mewakili kekhasan masyarakat Jawa Barat.
Gamelan
lainnya adalah gamelan Ajeng berlaras salendro yang masih terdapat di kabupaten
Bogor, dan gamelan Renteng yang ada di beberapa tempat, salah satunya di Batu
Karut, Cikalong kabuki Bandung. Melihat bentuk dan interval gamelan renteng,
ada pendapat bahwa kemungkinan besar gamelan degung yang sekarang berkembang,
berorientasi pada gamelan Renteng.
Ada
gamelan yang sudah lama terlupakan yaitu KOROMONG yang ada di Kp. Lamajang Desa
Lamajang Kec. Pangalengan Kab. Bandung. Gamelan ini sudah tidak dimainkan sejak
kira-kira 35 - 40 tahun dan sudah tidak ada yang sanggup untuk menabuhnya
karena gamelan KOROMONG ini dianggap mempunyai nilai mistis. Gamelan KOROMONG
ini sekarang masih ada dan terpelihara dengan baik. Untuk supaya gamelan KOROMONG
ini dapat ditabuh, maka kata yang memegang dan merawat gamelan tersebut harus
dibuat Duplikatnya.
Degung
merupakan salah satu gamelan khas dan asli hasil kreativitas masyarakat Sunda.
Gamelan yang kini jumlahnya telah berkembang dengan pesat, diperkirakan awal
perkembangannya sekitar akhir abad ke-18/awal abad ke-19. Jaap Kunst yang
mendata gamelan di seluruh Pulau Jawa dalam bukunya Toonkunst van Java (1934)
mencatat bahwa degung terdapat di Bandung (5 perangkat), Sumedang (3
perangkat), Cianjur (1 perangkat), Ciamis (1 perangkat), Kasepuhan (1
perangkat), Kanoman (1 perangkat), Darmaraja (1 perangkat), Banjar (1
perangkat), dan Singaparna (1 perangkat).
Masyarakat Sunda dengan latar belakang kerajaan yang
terletak di hulu sungai, kerajaan Galuh misalnya, memiliki pengaruh tersendiri
terhadap kesenian degung, terutama lagu-lagunya yang yang banyak diwarnai
kondisi sungai, di antaranya lagu Manintin, Galatik Manggut, Kintel Buluk, dan
Sang Bango. Kebiasaan
marak lauk masyarakat Sunda selalu diringi dengan gamelan renteng dan
berkembang ke gamelan degung.
Dugaan-dugaan masyarakat Sunda yang mengatakan bahwa
degung merupakan musik kerajaan atau kadaleman dihubungkan pula dengan kirata
basa, yaitu bahwa kata “degung” berasal dari kata "ngadeg" (berdiri)
dan “agung” (megah) atau “pangagung” (menak; bangsawan), yang mengandung
pengertian bahwa kesenian ini digunakan bagi kemegahan (keagungan) martabat
bangsawan. E.
Sutisna, salah seorang nayaga Degung Parahyangan, menghubungkan kata “degung”
dikarenakan gamelan ini dulu hanya dimiliki oleh para pangagung (bupati). Dalam
literatur istilah “degung” pertama kali muncul tahun 1879, yaitu dalam kamus
susunan H.J. Oosting. Kata "De gong" (gamelan, bahasa Belanda) dalam
kamus ini mengandung pengertian “penclon-penclon yang digantung”.
Gamelan
yang usianya cukup tua selain yang ada di keraton Kasepuhan (gamelan Dengung)
adalah gamelan degung Pangasih di Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang. Gamelan
ini merupakan peninggalan Pangeran Kusumadinata (Pangeran Kornel), bupati Sumedang
(1791—1828).
TARLING

Tarling
adalah salah satu jenis musik yang populer di wilayah pesisir pantai utara
(pantura) Jawa Barat, terutama wilayah Indramayu dan Cirebon. Nama tarling
diidentikkan dengan nama instrumen itar
(gitar) dan suling (seruling) serta istilah Yen wis mlatar gage eling
(Andai banyak berdosa segera bertaubat). Asal-usul tarling mulai muncul sekitar
tahun 1931 di Desa Kepandean, Kecamatan/Kabupaten Indramayu.[butuh rujukan]
Alunan gitar dan suling bambu yang menyajikan musik Dermayonan dan Cerbonan itu
pun mulai mewabah sekitar dekade 1930-an. Kala itu, anak-anak muda di berbagai
pelosok desa di Indramayu dan Cirebon, menerimanya sebagai suatu gaya hidup.
Trend yang disukai dan populer, di jondol atau ranggon* anak muda suka memainkannya,
seni musik ini mulai digandrungi. Pada 1935, alunan musik tarling juga
dilengkapi dengan kotak sabun yang berfungsi sebagai kendang, dan kendi sebagai
gong. Kemudian pada 1936, alunan tarling dilengkapi dengan alat musik lain
berupa baskom dan ketipung kecil yang berfungsi sebagai perkusi.
Sugra
dan teman-temannya pun sering diundang untuk manggung di pesta-pesta hajatan,
meski tanpa honor. Biasanya, panggung itu pun hanya berupa tikar yang diterangi
lampu petromaks (saat malam hari). Tak berhenti sampai di situ, Sugra pun
melengkapi pertunjukkan tarlingnya dengan pergelaran drama. Adapun drama yang
disampaikannya itu berkisah tentang kehidupan sehari-hari yang terjadi di
tengah masyarakat. Akhirnya, lahirlah lakon-lakon seperti Saida-Saeni, Pegat-Balen,
maupun Lair-Batin yang begitu melegenda hingga kini. Bahkan, lakon Saida-Saeni
yang berakhir tragis, selalu menguras air mata para penontonnya.
Namun
yang pasti, nama tarling saat itu belum digunakan sebagai jenis aliran musik.
Saat itu nama yang digunakan untuk menyebut jenis musik ini adalah Melodi Kota
Ayu untuk wilayah Indramayu dan Melodi Kota Udang untuk wilayah Cirebon. Dan
nama tarling baru diresmikan saat RRI sering menyiarkan jenis musik ini dan
oleh Badan Pemerintah Harian (saat ini DPRD) pada tanggal 17 Agustus 1962
meresmikan nama Tarling sebagai nama resmi jenis musiknya.
Tapi
satu hal yang pasti, seni tarling saat ini meskipun telah hampir punah. Namun,
tarling selamanya tidak akan bisa dipisahkan dari sejarah masyarakat pesisir
pantura. Dikarenakan tarling adalah jiwa mereka, dengan ikut sawer keatas
panggung atau sekedar melihatnya, dan mendengarnya seolah mampu menghilangkan
beratnya beban hidup yang menghimpit. Lirik lagu maupun kisah yang diceritakan
di dalamnya, juga mampu memberikan pesan moral yang mencerahkan dan menghibur.
GAMELAN
SANDUR

Gamelan
Sandur adalah alat musik yang berasal dari Madura. Gamelan sandur merupakan
alat musik yang berkembang di daerah Jawa timur. Gamelan sandur juga dapat
diartikan sebagai kumpulan musik-musik tradisional yang menjadi suatu kelompok
seperti orkhestra (modern).
GAMELAN
SEKATEN

Gamelan
Sekaten adalah sebuah perangkat gamelan yang paling dianggap berkaitan dengan
upacara agama Islam dan diduga telah ada sejak zaman Majapahit. Kegiatan sekatenan
ini telah ada sejak zaman kerajaan Demak, yaitu sebuah kerajaan Islam pertama
di tanah Jawa di pertengahan abad ke-16.
Tentang
asal-usul dari nama sekaten ada beberapa pendapat. Nama Sekaten sering
dikaitkan-kaitkan dengan kata syahadatain, yaitu kalimat syahadat yang harus
diucapkan kepada seseorang saat masuk agama Islam.
Nama
Sekaten ini ada juga yang mengaitkan dengan jarwa dhosok, yang didalam bahasa
Jawa sisig (ing) ati, yang katanya menggambarkan kesesakan perasaan orang-orang
yang sedang berdesa-desakan datang begitu mendengar suara gamelam yang aneh
ini, namun ada juga yang mengaitkan dengan ukuran satuan berat yang dipakai
oleh masyarakat Jawa di masa lalu yaitu sekati.
Hal
ini kemudian dihubungkan dengan ukuran besarnya gamelan dan yang paling berat
di antara gamelan yang telah ada. Di Kraton Surakarta terdapat gamelan Kyai
Guntur Madu dan juga gamelan Kyai Guntur Sari yang sengaja dibuat dalam ukuran
besar untuk menghasilkan sebuah suara yang keras sehingga dapat terdengar dari
jarak jauh untuk menarik para rakyat sehubungan dengan sarana dakwah dari agama
Islam.
Ricikan
pada gamelan Sekaten di Surakarta adalah satu rancak bonang yang terdiri dari
ricikan bonang dan penembung ini ditabuh oleh tiga orang pengrawit, memiliki
dua rancak saron demung, empat rancak saron barung, satu rancak kempyang,
sebuah bedhug, dua rancak saron penerus, dan sepasang gong besar pada satu
gayor.
Semua
gamelan ini berlaras pelog dan terbuat dari bahan perunggu. Adapun gending
sekatenan yang harus disajikan adalah ladrang Rangkung, ladrang Rambu, ladrang
Barang Miring, dan juga ladrang Glana.
Gamelan
Sekaten ini dibunyikan sekali dalam setahun yaitu hanya pada upacara
memperingati kelahiran dari Nabi Muhammad S.A.W. di bulan Mulud (Jawa). Di
keraton Surakarta gamelan sekaten ini menyertai prosesi gunungan yang dimulai
dari bangsal Smarakata, lalu melewati Sitinggil, alun-alun utara, hingga di
Halaman Masdjid Agung.
GAMELAN
AGENG

Gamelan
dengan kelengkapan yang maksimal diwujudkan dari berbagai macam bentuk dan
bahan antara lain : bentuk-bentuk bundaran besar dan kecil, dengan
bisul-bisulan (pencon), lempengan (bilahan) besar dan kecil, dawai (kawat),
kayu, kulit dan bambu. Gamelan pada prinsipnya mempunyai dasar laras yang
berpijak pada dasar sistem pentatonik pelog dan slendro. Adapun standar gamelan
Jawa dengan perangkat lengkap yang mempunyai laras pelog dan slendro terdiri
dari:
1. Bonang
Barung
Bonang
barung merupakan alat musik berpencu (bermata) yang terbuat dari perunggu. Alat
ini dipukul dengan pemukul kayu berbentuk batangan yang salah satu ujungnya
dililit kain. Bonang dimaikan dengan cara dipukul oleh dua alat pemukul
gamelan. Alat ini biasanya menjadi pembuka dalam setiap permainan gamelan.
Selain sebagai alat musik melodis, bonang mempunyai fungsi lebih utama yaitu
sebagai alat musik harmonis. Bonang barung berfungsi sebagai pamurba lagu, yang
bertugas memulai serta menghiasi jalannya sajian pada gendhing-gendhing.
2. Bonang
Penerus
Bentuk
dan cara memainkan alat ini sama dengan bonang barung. Alat ini merupakan
pengisi harmoni bonang barung. Dengan bentuk yang mirip namun lebih kecil
daripada bonang barung, bonang penerus memiliki suara 1 oktaf lebih tinggi dari
bonang barung. Teknik memainkannya pun lebih cepat dari bonang barung.
3. Saron
Alat
ini dimainkan dengan dipukul memakai satu alat pemukul yang terbuat dari kayu
yang keras. Saron merupakan pengisi melodi utama dalam permainan gamelan. Alat
ini merupakan alat berbilah dengan bahan dasar logam. Bilah-bilah tersebut
mewakili setiap nada pada tangga nada pentatonis dalam gamelan. Bilah tersebut
dipukul dengan menggunakan tangan kanan untuk menghasilkan nada tertentu,
kemudian bilh tersebut diredam (diempet) dengan tangan kiri untuk menghentikan
gema nadanya, sehingga nada berikutnya dapat terdengar dengan baik.
4. Demung
Bentuk
dan fungsinya sama dengan saron, namun demung bernada lebih rendah 1 oktaf
daripada saron. Pemukul demung juga berukuran lebih besar daripada saron.
5. Peking
Alat
ini berukuran lebih kecil daripada saron dan nadanya 1 oktaf lebih tinggi daripada
saron. Fungsinya adalah pemberi warna melodi dalam permainan gamelan. Biasanya
peking dimainkan dengan nada yang sama dengan saron, namun permainannya dibuat
terus mengisi (dobel) sehingga tidak ada tempo yang kosong. Sedangkan untuk
irama peking adalah dua kali dari irama saron dan demung. Alat ini dipukul
dengan alat pemukul yang sangat keras dan biasannya terbuat dari tanduk sapi.
6. Kenong
Kenong
biasanya dimainkan dengan dipukul oleh satu alat pemukul. Alat ini merupakan
pengisi akor juga sebagai pembantu ritme dalam gamelan, namun tidak bisa
memainkan melodi lagu dalam gamelan. Kenong juga berfungsi sebagai penentu
batas-batas gatra serta menegaskan irama. Kenong juga merupakan alat musik
berpencu yang terbuat dari logam namun lebih besar daripada bonang. Alat ini
dipukul dengan menggunakan alat pemukul kayu yang juga dililit bonang pada
ujungnya. Kenong diletakkan mengitari pemainnya, yaitu di sisi kanan, kiri dan
depan pemain.
7. Kethuk
dan Kempyang
Alat
ini memiliki fungsi sebagai alat musik ritmis, yang membantu kendang dalam
menghasilkan ritme lagu yang diinginkan dalam permainan. Kethuk dan kempyang
diletakkan pada satu rancak dengan posisi kethuk di sebelah kanan dan kempyang
di sebelah kiri. Dua alat ini diletakkan di dekat kenong, yang biasanya
dimainkan juga oleh pemain kenong. Kethuk mempunyai nada yang lebih rendah dari
kempyang, sehingga bentuknya cenderung lebih besar daripada kempyang.
8. Gender
Alat
ini dimainkan menggunakan dua alat pemukul. Fungsinya adalah mengembangkan
melodi dari saron menjadi lebih harmonis. Gender terbuat dari lempengan logam
yang tipis dan di bawahnya terdapat resonator suara berupa pipa-pipa silinder
besar mengikuti lempengan tersebut. Alat musik gender ada dua macam yaitu
gender barung dan gender penerus. Gender barung dan gender penerus mempunyai
bentuk yang mirip namun bilah gender penerus lebih kecil dan nadanya 1 oktaf
lebih tinggi daripada gender barung.
GAMELAN
PAKURMATAN

Jumlah
instrument yang lengkap berjumlah 18 unit disebut Gamelan Ageng. Gamelan Agen
terdiri dari Seperangkat atau satu pangkon berlaras Slendro dan satu pangkon
berlaras Pelog.
Kelompok
gamelan lama mempunyai fungsi yang sangat spesifik disebut Gamelan Pakumartan.
Kelompok Gamelan Pakurmatan adalah Gamelan Sekaten berlaras pelog, Gamelan
Munggang berlaras slendro dan Gamelan Kodhok Ngorek berlaras pelog. Gamelan
Pakurmatan dimiliki Kraton dan beberapa lembaga pendidikan untuk kepentingan
latihan.
Kelompok
gamelan sederhana antara lain gamelan Gadhon, terdiri dari beberapa jenis
instrument tertentu berlaras slendro dan atau pelog, yaitu :
–
Kendhang.
–
Gong
–
gender panembung.
–
gender barung.
–
Rebab.
–
Gambang
–
Suling
–
Siter.
–
Kethuk kenong renteng.
–
Kemodhong.
Sedangkan
kelompok gamelan lain yang sangat sedarhana, yaitu gamelan cokekan yang
berlaras slendro dan atau pelog, yaitu :
–
Kendhang.
–
Siter.
–
gong kemodhong.
Gamelan
dapat dibuat dari bahan timah putih (Sn) dan tembaga (Cu) dengan perbandingan
Sn : Cu : 10º., Juga dapat dibuat dari bahan kuningan, singen atau besi.
Karawitan
Musik
tradisional Jawa atau gamelan dimainkan oleh sekelompok orang yang disebut
‘wiyogo’. Musik ini dimainkan dengan diiringi penyanyi wanita disebut
‘waranggono’ dan penyanyi pria yang disebut ‘wiraswara’. Musik ini disebut juga
‘uyon-uyon’ yang terdiri dari bermacam-macam lagu. Saat instrumen gamelan
dimainkan tanpa penyanyi disebut ‘soran’
Istilah
istilah dalam gamelan dan karawitan
·
Ada-ada. Bentuk
lagu dari seorang dhalang, umumnya digunakan dalam menggambarkan suasana yang
tegang atau marah, hanya diiringi dengan gender.
·
Adangiyah. Nama
dari jenis lagu rebab yang pada umumnya digunakan untuk buka terutama dalam
gendhing-gendhing yang terlaras Pelog lima, nem, dan barang yang menggunakan
lagu dengan notasi untuk Pelog lima 3 ….2165, untuk pelog nem 6 …..3216, dan
Pelog barang dengan 2… 7 2 7 6 5, masing –masing dilagukan dua kali disambung
lagunya.
·
Adeg. Kedua
telapak kaki secara datar menapak lantai, dengan tidak ada kelanjutan tari.
·
Alok. Suara
orang (biasanya pria) dengan nada bebas tetapi sudah tertentu penempatannya
dimasukan di dalam lagu gendhing. Hake, lo lo lo, huak, dan lain-lain.
·
Ambah-ambahan.
Tempat berpijaknya suatu nada dalam suatu lagu atau gendhing. Contoh
amabah-ambah rebab, sindhen, berkisar pada nada gedhe.
·
Anawengi. Alat
untuk mengangkut gamelan dengan cara dipikul oleh 2 sampai 4 orang. Ancak ini
dibuat dari papan kayu berbentuk persegi panjang dengan diberi tali untuk
mengkaitkan alat pemikul.
·
Ancak. Alat
untuk mengangkut gamelan dengan cara dipikul oleh 2 sampai 4 oarng. Ancak ini
dibuat dari papan kayu berbentuk persegi panjang dengan diberi tali untuk
mengkaitkan alat pemikul.
·
Ancer. Semacam
titik yang terletak di bagian atas pencu. Ancer sesungguhnya bekas tempat jarum
bubut, karena untuk menghaluskan kenong atau bonang atau kempul biasanya dengan
jalan dibubut.
·
Anggong. Orang
yang bertugas mengatur gamelan bila sedang diadakan pertunjukan.
·
Angkatan.
Permulaan atau awal dari suatu bentuk lagu. Misalnya angkatan lagu atau tembang
Pocung dimulai dari nada tiga, umumnya untuk sebutan di dalam vokal.
·
Ayak-ayakan.
Suatu bentuk gendhing dimana jumlah kenongan, kempul, serta gong tidak
tertentu. Pada umumnya sebelum akhir gendhing tidak menggunakan gong ajeg.
·
Ayun-ayun. Sejenis
Wulang Sunu diciptakan oleh Kiai Abdulaan dari desa Grabag ( daerah Temanggung
). Perunjukan
Ayun –ayun yang dipentingkan adalah pembacaan – pembaaan selawat Nabi dalam
bentuk tembang. Gerak tarinya dengan posisi duduk, dan hanya kepala yang
digerakan serta badan meliuk-liuk saja,.
GAMELAN
MONGGANG

Gamelan ini memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari
gamelan kodhok ngorek, walau dari segi umur gamelan ini lebih muda.kedudukan
ini dicapai karena fungsi dan perannya yang lebih banyak dan lebih penting
(tinggi). Fungsi
perangkat gamelan ini antara lain:
-Memberi
tanda pada berbagai upacara(penobatan,jumenengan raja)
-Mengiringi
gunungan pada berbagai upacara grebeg
-Menengarai
berbagai peristiwa penting
-Mengiringi
adon-adon (aduan,sabungan)
-Mengiringi
latihan perang
-Menengarai
bayi laki-laki dari keluarga raja
-Menengarai
kemangkatan(meninggalnya raja)
Gamelan
Monggang memiliki komposisi ricikan sebagai berikut:
·
-Serancak bonang
yang terdiri dari empat bagian
·
-Satu atau lebih
rancak bonang.berisi enam pencon yang terdiri tiga nada
·
-Tiga rancak
kecer
·
-Satu gayor
penonthong terdiri dari dua pencon yang larasnya berbeda
·
-Sepasang
kendang
·
-Sepasang gong
ageng
·
-Sepasang rancak kenong (japan)
Gamelan
monggang juga disebut dengan gamelan patigan, artinya gamelan yang memiliki
tiga nada pokok. Gamelan ini juga berlaras pelok dan slendro, adapun pola
tabuhannya sebagai berikut:
1615
/ 3231 / 2726
Nada
pertama adalah dua nada diatas seleh
Nada
kedua adalah satu nada diatas seleh
Nada
ketiga adalah nada seleh
Gendhing
ini disajikan dari irama seseg (cepat), kemudian tamban atau dados (lambat)
kembali lagi keseseg lalu suwuk (selesai).
GAMELAN
GONG KEBYAR

Gamelan
gong kebyar merupakan tipe atau jenis musik gamelan paling umum yang ada dan
paling sering dipentaskan di Bali.Secara fisik Gong Kebyar adalah
penyederhanaan dari Gong Gede dengan pengurangan peranan atau pengurangan
beberapa buah instrumennya. Kata kebyar secara harfiah bermakna cepat,
tiba-tiba, dan keras; merefleksikan jenis musik gamelan gong kebyar yang sangat
dinamis, keras, dan memiliki tempo yang cepat.Gamelan gong kebyar memiliki lima
nada dasar yang disebut laras pelog yaitu : nding, ndong, ndeng, ndung, dan
ndang.
Pada
tahun 1928, lima buah kaset rekaman yang membawa informasi tentang kesenian
musik bali memperdengarkan bahwa, pada saat itu telah banyak tipe atau genre
gamelan yang berkembang di Bali. Tipe atau genre gamelan tersebut diantaranya :
gong kebyar, gamelan semar pagulingan, gamelan palégongan, gamelan gendér
wayang, gamelan gambang, gamelan pajogédan, gamelan gambuh dan gamelan
angklung.Gong kebyar diyakini mulai muncul ke permukaan pada masa pergantian
abad ke-19.
Inovasinya
berkembang antara tahun 1910 sampai 1915 di Buleleng, sebuah pusat pemerintahan
Belanda di Bali Utara. Konon, irama gong kebyar yang dinamis dipengaruhi oleh
marching band tentara Belanda pada masa perang puputan.Pertunjukan publik gong
kebyar pertama kali di depan umum yang tercatat sejarah adalah pada bulan
Desember 1915, saat diadakan kompetisi gong kebyar pertama di Jagaraga,
Buleleng.
Umumnya
dalam pementasan Gong Kebyar, terdapat 10-13 jenis instrumen yang digunakan dan
masing-masing terdiri dari beberapa buah instrumen.[Jumlah instrumen yang
digunakan juga bervariasi, bergantung kelompok atau sekaa dari Gong Kebyar yang
tampil. Instrumen yang digunakan tersebut adalah : Gangsa, Jegogan, Jublag,
Reyong, Terompong, gendang besar, Ceng ceng, Kajar, Gong besar, Kemong, Babende,
suling bambu, dan rebab.
Kelompok
instrumen dengan bilah tuts
Instrumen
yang termasuk kelompok gangsa merupakan
instrumen pokok penyusun gong kebyar. Gangsa merupakan jenis instrumen berbilah
atau dilengkapi dengan 10 buah tuts campuran kuningan yang kemudian dipukul
untuk menghasilkan nada. Gangsa yang digunakan pada gong kebyar terdiri dari
tiga jenis. Jenis pertama yaitu ugal; merupakan jenis gangsa paling besar dan
penyusun melodi utama dari pertunjukan drama gong. Ugal juga berfungsi sebagai
pemimpin melodi saat terompong tidak digunakan. Jenis kedua yaitu pemade yang
memiliki bilah tuts yang lebih kecil dari ugal. Nada yang dimiliki pemade lebih
tinggi satu oktaf dari ugal. Jenis ketiga yaitu kantil yang merupakan
gangsa dengan bilah tuts paling kecil
dengan nada oktaf terendahnya sama dengan yang dimiliki pemade.
Jublag
dan Jegogan memiliki tampilan yang serupa dengan jenis gangsa, namun dengan
ukuran tuts yang lebih besar serta jumlah yang lebih sedikit. Jegogan merupakan
instrumen dengan tuts yang memiliki nada terendah pada kelompok instrumen gong
kebyar. Umumnya jegogan memiliki bilah tuts 5-6 buah. Sementara itu, Jublag
memiliki nada yang lebih tinggi serta tempo permainan yang lebih cepat.
Instrumen
yang berbentuk gong atau menyerupai terdiri dari Gong besar, kemong, babende,
kempli, reyong, dan terompong. Gong besar sesuai namanya merupakan jenis gong
yang paling besar pada kelompok instrumen gong kebyar. Biasanya gong besar
dibuat sepasang yaitu jenis lanang
(harfiah : pria) dan wadon (harfiah : wanita). Gong jenis lanang
memiliki nada yang lebih tinggi dari wadon. Kemong dan babende memiliki bentuk
serupa dengan gong besar namun dengan bentuk lebih kecil secara berurutan,
sehingga nada yang dimilikipun secara berurutan lebih tinggi. Reyong dan
Terompong merupakan alat musik yang terdiri dari 10-12 blok gong kecil. Reyong
memiliki 12 blok gong kecil. Rentang nada reyong dapat mencapai beberapa oktaf, dan dapat
dimainkan oleh dua hingga empat orang.Sementara terompong memiliki 10 buah blok
gong kecil dan rentang nadanya mencapai dua oktaf. Terompong merupakan
instrumen yang tidak terlalu umum ditampilkan dalam gong kebyar.
Reyong
dan Terompong pada tampilannya menyerupai susunan dari Kempli. Kempli merupakan
instrumen yang terdiri dari satu blok gong kecil yang berfungsi untuk menandai
tempo dari permainan gangsa.
Kelompok
instrumen lainnya
Gendang
( kendhang dalam bahasa Bali) pada pementasan gong kebyar terdiri dari dua
jenis yaitu lanang (harfiah : pria) dan wadon
(harfiah : wanita). Sama seperti gong besar, gendang jenis lanang
memiliki nada yang lebih rendah dari jenis wadon. Instrumen lainnya yaitu rebab
dan suling bambu yang digunakan dalam pementasan gong kebyar, secara umum sama
dengan rebab dan suling bambu yang biasa ditemukan di nusantara.
SEMAR
PAGULINGAN

Gamelan yang dalam lontar Catur Murni disebut dengan gambelan Semara Aturu
ini adalah barungan madya,yang bersuara merdu sehingga banyak dipakai untuk
menghibur raja-raja pada zaman dahulu.Karena kemerduan suaranya,gambelan Semar
Pagulingan (Semar = samara,Pagulingan = tidur) konon biasa dimainkan pada malam
hari ketika raja-raja akan keperaduan (tidur).Kini gambelan ini bias dimainkan
sebagai sajian tabuh instrumental dan atau untuk mengiringi tari-tarian maupun
teater.
Masyarakat
Bali mengenal dua macam Semar Pegulingan di Bali : yang berlaras pelog 7
(tujuh) nada dan belaras 5 (lima) nada.Kedua jenis Semar Pegulingan secara
fisik lebih kecil dari pada Gong Kebyar terlihat dari ukuran instrumennya
gangsa dan teromponga yang lebih kecil dari pada yang ada di Gong Kebyar.
Instrumentasi
gambelan Semar Pegulingan (milik STSI Denpasar) meliputi :1 bua terompong (12
buah pencon) ; 2 buah gender rambat (berbilah 14); 2 buah gangsa barungan
(berbilah 14); 4 tungguh gangsa gantungan pemade; 4 tungguh gangsa gantungan
kantil; 2 tungguh jegogan; 2 tungguh jublag (masing-masing berbilah 7); 2 buah
kendang kecil; 1 buah kajar; 1 buah klenang; 1 buah kempur (gong kecil); 1
pangkon ricik; 1 buah gentorag; 1-2 rebab dan 1-2 buah suling,dan memiliki
fungsi sebagai :
2
tungguh Gender Rambat, yaitu alat musik wilahan yang terbuat dari bahan
perunggu yang diletakkan di atas tungguh kayu dengan resonator bamboo.
Fungsinya sebagai pembawa lagu menggantikan terompong. Panjang wilahannya lbh
kurang 13 -15 cm, lebarnya lebih kurang 3 – 4,5 cm, tipisnya lbh kurang 2 – 3
mm.
1
tungguh Trompong, 14 pencon, yaitu instrument musik menyerupai gong yang
terdiri dari 14 buah yang diletakkan di atas rak. Diameternya beragam mulai dari ukuran yang
paling kecil hingga terbesar, yaitu
mulai dari 12 – 20 cm, dengan tinggi permukaannya lbh kurang 10 cm.
4
tungguh gangsa Pemadih atau Pemade, 7 bilah, istrumen wilahan yang diletakkan
di sebuah rak kayu dari bahan kayu nangka, dengan resonator yang terbuat dari
bamboo. Panjang wilahannya lebih kurang 15 – 25 cm, lebar 3 – 4,5 cm dengan
ketebalan 2 – 3 mili meter.
4
tungguh gangsa Kantil, 7 bilah, yaitu alat musik wilahan yang terbuat dari
bahan perunggu yang terdiri dari tujuh wilahan yang diletakkan di atas rak yang
terbuat dari bahan kayu, dengan resonator dari bambu. Panjang wilahannya adalah
beragam dari yang kecil hingga yang besar, yaitu sekitar panjang 15 – 25 cm, lebar lebih kurang 4 – 5
cm, dan ketebalan lbh kurang 2 – 3 mili meter. Alat ini dimainkan dengan
menggunakan sebuah alat pemukul (stik) dengan tangan kanan dan tangan kiri
berfungsi sebagai damper, untuk memute suaranya.
2
buah Juglag, 7 wilahan, yaitu alat musik wilahan yang terbuat dari bahan
perunggu yang diletakkan di atas rak atau tungguhan yang terbuat dari bahan
kayu dengan tinggi lebih lkurang 40 – 45 cm. Panjang wilahannya lebih kurang
antara 40 – 45 cm, lebar 4 – 6 cm dan ketebalannya lebih kurang 3 – 4 cm, dan diletakkan di atas resonator bambu.
2
tungguh Penyelah , 7 bilah yaitu alat musik wilahan yg lebih kecil dari Juglag,
yaitu wilahan yang terbuat dari bahan perunggu yang diletakkan di atas rak atau
tungguhan yang terbuat dari bahan kayu dengan tinggi lebih lkurang 30 – 40 cm.
Panjang wilahannya lebih kurang antara 30 – 35 cm, lebar 4 – 5 cm, dan
ketebalan 2 – 3 mili meter. Wilahan tersebut diletakkan di atas resonator
bamboo. Dimainkan dengan dua buah stik (tangan kiri dan kanan);
2
tungguh Jegogan, 7 bilah, yaitu isntrumen wilahan yang terbuat dari bahan
perunggu yang diletakkan dalam sebuah rak yang terbuat dari bahan kayu dan
didalamnya terdapat resonator dari bamboo dengan tinggi lebih kurang 40 – 45
cm. Panjang wilahannya lebih kurang 25 – 30 cm, dengan lebar 3 – 4 cm dan
ketebalan lebih kurang 2 – 3 mm.
1
gong Gayor yaitu gong yang diletakkan di
rak yang terbuat dari bahan perunggu dengan diameter 45 – 55 cm, dengan tinggi
permukaan 5 – 7 cm. Alat ini biasanya biasanya berpasangan dengan kenong dan
Kempur, namun dalam berpasangan dengan kenong dan Kempur, namun dalam Semar
Pagulingan alat musik kempur tidak dipergunakan.
2
buah Kendang Krumpungan, yaitu kendang lanang dan kendang wadon, yaitu gendang
dua sisi. Kedua gendang ini pada prinsipnya ukurannya sama, hanya fungsinya
dalam ensambel musik yang dibedakan serta pelarasannya. Panjangnya lebih kurang
60 cm, dengan diameter sisi kiri 20 cm, dan sisi kanan 24 cm. Gendang ini
terbuat dari bahan kayu nangka dan membrannya terbuat dari kulit sapi. Gendang
ini dipukul dengan menggunakan satu buah alat pemukul (stik) untuk tangan
kanan, dan tamparan tangan untuk tangan kiri.
1
kendang Bebarongan, gendang kecil, ukurannya lbh kurang 55 cm, diameter
membrannya lbh kurang 20 cm sebelah kiri dan 24
cm sebalah kanan.
1
buah Ceng-Ceng Rucik, ceng-ceng yg lbh kecil dari biasanya, yaitu sejenis
simbal dengan diameter lebih kurang 8 – 9 cm, dengan ketebalan lebih kurang 1 –
2 mm.
1
buah Gentorak, sejenis genta yang terdiri dari beberapa buah genta kecil. Cara
memainkannya dengan menggoyangkannya, sehingga suaranya gemerincing. biasa
dipakai dlm upacara, terbuat dari perunggu. Diameter gentanya lebih kurang 2 –
4 cm, dengan tinggi permukaannya sekitar 3 – 4 cm, dan ketebalannya lebih
kurang 1 mili meter.
1
buah Kajar, yaitu sejenis gong kecil yang berpencu yang berfungsi sebagai
tempo. Biasa juga disebut kethuk. Diammeternya lebih kurang 15 cm, dengan
tinggi permukaannya lbih kurang 10 cm, dan ketebalan lbh kurang 1 – 2 mili
meter.
1
buah Kenong, merupakan gong kecil yang diletakkan di atas rak yang terbuat dari
bahan perunggu, dengan ukuran diameter lebih kurang 15 – 17 cm, dan tinggi 8 –
10 cm dengan ketebalan lebih kurang 1 – 2 mm;
1
buah Klenang, adalah juga sejenis gong kecil
yang terdiri dari satu buah terbuat dari bahan perunggu berfungsi sbg
pemanis tempo atau penyela. Bentuknya hampir sama dengan Kajar, demikian juga
ukurannya.
2
tungguh Kempyung, terdiri dari dua nada, yaitu sejenis gong kecil dgn diameter
15 cm dan tingginya lbh krg 10 cm dan ketebalannya lebih kurang 1 – 2 mm;
1
buah Rebab, yaitu alat musik gesek bersenar dua, dengan panjang lebih kurang 70
– 100 cm. Terbuat dari bahan kayu nangka, dengan senar dari bahan metal, dan
membrane dari kulit, dan terdiri dari alat penggesek (bow).
4
buah Suling, yaitu end blown flute, yaitu suling yang terbuat dari bahan bambu
dengan panjang lebih kurang 25 – 30 cm, dengan diameter 1 – 1,5 cm.
ARAMBA

mengenal
alat musik tradisional Sumatera Utara yang dikenal dengan nama Aramba. Berbeda
dengan Angklung dan Seluang yang memanfaatkan bambu sebagai bahan utama
pembuatan, Aramba justru menggunakan logam dan kuningan sebagai bahan utama
pembuatan alat musik tradisional ini.
Adapun
cara memainkan alat musik tradisional yang satu ini adalah dengan cara
memukulnya. Aramba ini berbentuk bulat dengan adanya tonjolan bulatan kecil
pada bagian tengahnya yang merupakan sasaran utama pemukulan dalam mendapatkan
irama dan nada musik yang diinginkan. Bisanya Aramba sendiri ditempatkan dengan
cara digantung dengan menggunakan seutas tali pada sebuah palang horizontal.
Namun pastikan palang dan tali yang digunakan untuk menggantungkan alat musik
tradisional ini memiliki tekstur yang kuat dan tidak mudah patah.
Sebab
bahan kuningan dan logan dalam pembuatan Aramba memiliki ukuran berat yang
cukup tinggi, sehingga palang dan tali yang kurang kuat tidak cocok digunakan
sebagai alat bantu dalam menggantungkan Aramba ini.
Untuk
melengkapi penjelasan Aramba sebagai salah satu alat musik tradisional dan
keterangannya ini, kurang lengkap kalau Anda tidak tahu kapan dan dimana
biasanya alat ini digunakan. Baiklah. Aramba sendiri biasanya digunakan sebagai
pengiring acara pernikahan atau upacara-upacara adat tertentu masyarakat
Sumatera Utara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar